Mengapa Mesti Malu Mengakui Kesalahan

Salah, atau berbuat kesalahan. Sesuatu yang dianggap aib atau cela yang dilakukan manusia. Tidak berbuat sesuai aturan, bahkan melanggarnya, atau menyimpang dari kaidah kebenaran.

Setidaknya ada 3 elemen terkait yang membentuk kesalahan. Korban/objek kesalahan, Norma dalam menilai kesalahan, serta Pelaku yang berbuat kesalahan.

Jika terjadi sebuah kesalahan, Korban/objek biasanya tidak terima atas perlakuan salah yang menimpanya. Misalkan ketika hak nya diambil, atau keyakinannya dinista, si korban akan menuntut Pelaku untuk memperbaiki kesalahannya, mengembalikan hak nya. Jika si korban bijaksana, ia akan memaafkan permohonan maaf si pelaku, selama si pelaku berjanji tidak akan mengulangi perbuatannya.

Hal umum di atas biasanya terjadi jika kedua belah pihak (pelaku &korban) memiliki pandangan atau meyakini norma yang sama terhadap kesalahan tersebut. Pelaku menyadari kesalahannya dan Korban memaafkan kejadian yang menimpanya.  Dengan itu kehidupan di dunia terasa indah, damai, dan tentram.

Oleh sebab itulah Allah menurunkan syariat bagi umat manusia agar menjadi pedoman sebagai norma yang disepakatu bersama, atau juga negara membentuk Undang-undang sebagai aturan yang ditaati oleh warga negara.

Namun mengapa kebanyakan pelaku salah tidak mau mengakui kesalahannya?. Bisa jadi karena kesalahan itu aib, maka ia malu mengakuinya yang akan menjatuhkan nama baiknya. atau mungkin ia belum mengetahui norma/ aturan yang berlaku hingga tidak menyadarinya.

Jika kita ingat seorang wanita yang datang kepada Rasul untuk mengakui kesalahannya, berzina. Mungkin hal tersebut menjadi aneh dalam pandangan dewasa ini. Padahal bisa saja dia tidak membuka aibnya, karena tidak ada saksi yang mengadukan perbuatannya. Namun kesadaran terhadap norma agama yang membuatnya ia datang ke pintu pertobatan.

Namun apa yang terjadi saat ini. Jangankan tidak ada saksi, banyak pelaku salah yang didukung banyak bukti dan saksi pun masih tidak mengakui kesalahannya, atau bahkan berusaha menutupi kesalahan tersebut.

Pepatah mengatakan, "Salah itu memiliki saudara, jika menutupi kesalahan akan muncul kesalahan berikutnya". Hal inilah yang banyak terjadi sekarang. Demi nama baik, citra umum, atau kepentingan lainnya, untuk menutupi kesalahan yang pertama, justru muncul kesalahan berikutnya dan seterusnya, hal ini akan membuat dunia menjadi kisruh, merajalelanya kemunafikan, dan menenggelamkan norma kebenaran.

Jika si pembuat salah mau menyadari dan mengakui kesalahannya, walaupun bisa jadi antara motif perbuatan dengan tuduhan tidak sejalan, setidaknya tidak perlu menguras banyak energi yang dapat digunakan untuk hal yang lebih bermanfaat.

Lihat saja ketika Imam Hanafi, yang tadinya mau mengingatkan anak kecil agar tidak tergelincir dengan sepatunya, malah sang anak kecil balik mengingatkan bahwa Sang Imam Mazhab inilah yang harusnya berhati2 agar tidak tergelincir dari kesombongan atas gelar yang disandangnya. Imam Hanafi justru berterima kasih kepada anak tersebut untuk memperbaiki amalnya.

Manusia itu sangat wajar salah, dan sebaik2nya pembuat kesalahan adalah yang mengakui salahnya hingga ia bertaubat dan berusaha tidak mengulanginya. Mumpung pintu pertobatan itu masih terbuka, selama nyawa belum melewati tenggorokan, kenapa mesti malu mengakui kesalahan untuk menanggalkan beban penderitaan yang bisa terbawa ke hari perhitungan dimana manusia akan mempertanggungjawabkan semua perbuatannya.

Ingat, moyang manusia, Nabi Adam AS dikeluarkan dari syurga karena berbuat kesalahan, lantas beliau memohon ampun atas kedzolimannya untuk memohon rahmat Allah agar tidak masuk ke golongan orang yang rugi. Jadi jika kita, sebagai anak cucunya masih malu atau bahkan tidak mengakui kesalahan yang pernah kita perbuat, bagaimana mungkin kita akan kembali ke syurga. WaAllahu'alam.

Al faqir, afif qudratullah
Gabek Crocodile, 18 Rajab 1438.

Comments

Popular posts from this blog

Semua atas Kehendak-Nya

Salah Satu Pelajaran Dari Pertandingan Manny Pacquaio dengan Floyd Mayweather